“Aniki, aku mau menginap di tempatmu beberapa hari boleh?”
Aku cukup dikejutkan dengan Hiro yang tiba-tiba datang ke kantor tanpa mengatakan lebih dulu padaku.
Hari ini, setelah mengantar Sousuke dan Yuuki ke sekolah, aku bekerja seperti biasanya, kupikir anak ini juga pergi ke kampus untuk mengajar tapi, lihat dia sekarang. Dia malah datang kemari dan menggebrak mejaku lalu bilang kalau dia mau menginap.
Aku menutup berkas yang sedang kupelajari dan memandang anak itu lekat-lekat, sebelum mengembuskan napasku yang rasanya sangat berat.
“Apa yang terjadi?”
“Aku tidak mau di rumah.”
“Ada sesuatu?”
“Aku hanya tidak ingin ada di rumah.”
“Ayah tahu kau kemari?”
“Tidak, ayah bahkan tidak tahu kalau aku bawa koper.”
“Ko—apa? Kenapa kau bawa koper?”
“Sudah kubilang kalau aku ingin tidur di tempatmu beberapa hari.”
“Baik, tapi aku harus menemui ayah dulu, ada apa denganmu.”
“Aniki, kenapa kau sangat menyebalkan.” Protesnya. “Tidak perlu bertemu ayah, aku tidak ingin bicara dengannya.”
“Tapi aku harus tahu kenapa kau ingin pergi?”
“Karena aku benci ayah, kau tahu.”
Aku mengembuskan napasku saat Hiro mengatakan itu di depan wajahku. Aki tidak meresponnya lagi setelah itu, aku hanya menyuruhnya untuk duduk dan melakukan apa yang dia mau, hanya saja yang dia mau adalah pergi ke rumah dan tinggal di sana beberapa hari. Sebanarnya bukan masalah untukku karena aku sendiri tidak terlalu peduli dia mau tinggal berapa lama di rumah itu, hanya saja sekarang keadaannya sedang tidak baik sama sekali.
Setelah pertengkaranku dengan ayah tempo hari, orang tua itu bahkan tidak menggubrisku sama sekali.
“Baiklah, kau boleh ke rumah. Tapi, katakan kenapa kau tidak mengajar hari ini?”
“Aku mau berhenti.”
“Dan kau mau bergantung hidup dari kakakmu ini?”
“Tenang saja, aku masih punya banyak tabungan untuk membiayai hidupku selama lima tahun, tapi untuk makan siang, sarapan dan makan malam, kuharap Aniki mau menanggungnya untukku.”
“Aku? Huh, nikmatnya hidupmu.”
“Kau tidak mau? Baiklah, aku akan beli mi instan banyak-banyak kalau begitu.”
“Berhenti mengoceh dan berikan aku foto dan nomer telepon orang yang diberikan ayah padamu.”
“Aniki mau apa?”
“Melihatnya tentu saja.”
“Setelah itu?”
“Tidak, aku hanya akan melihatnya.”
“Aniki harus berjanji tidak akan apa-apakan dia.”
“Maksudmu?”
“Dia masih kecil, mungkin dia baru masuk kuliah.”
“Apa katamu?” tanyaku tidak percaya dengan apa yang kudengar. “Tunggu, kalau dia masih bau kencur begitu kenapa ayah memberikan dia padamu?”
“Mana kutahu,” rengeknya seperti ingin menangis.
Tentu saja dia akan menangis kalau aku tidak melakukan sesuatu. “Pulanglah, akan kutelepon Sousuke kalau kau akan datang tapi, sepertinya dia masih ada di sekolah sekarang.”
“Sekolah?”
“Hm, ini hari pertama Yuuki masuk sekolah, tapi katanya tidak akan pulang terlalu sore, atau kau telepon saja dia biar nanti aku yang jelaskan.”
“Aniki kau benar-benar baik, terima kasih.” Ujarnya kemudian pergi dari ruanganku.
Sekali lagi, aku menghela napas untuk kelakuannya. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang terjadi. Apa maksudnya ayah ingin menjodohkan Hiro dengan seorang bocah yang bahkan belum bisa mengendalikan dirinya. Jadi, setelah Hiro menghilang dari ruanganku, aku segera pergi ke ruangan ayahku dan bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi dan sialnya di sana aku hanya dipelototi.
“Apa yang anak itu katakan padamu?” tanya ayahku dengan nada yang terdengar sangat tidak senang.
“Seperti yang kutanyakan. Apa benar anak kolegamu itu masih bocah tengik?”
“Berhenti memanggilnya seperti itu.”
“Jadi benar dia hanya seorang bocah yang bahkan usianya saja jauh di bawah Hiro?”
“Kurasa ini bukan urusanmu. Kau sudah cukup sibuk dengan Omega –mu itu, bukan? Maka pergilah.”
“Berhenti menyangkut-pautkan semuanya dengan Sousuke. Apa yang kulakukan pada Sousuke berbeda dengan yang akan ayah lakukan pada Hiro."
"Kalau kau tidak setuju aku menjodohkannya dengan anak kolegaku Oubi-san, maka sudah tidak ada lagi yang harus kita bicarakan, pergilah.”
“Kuperingatkan pada ayah, berhenti mengatur hidup Hiro atau—“
Ayah melirikku dengan tatapan yang terlihat sangat kesal. Aku sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, hanya saja aku sudah cukup tua dengan semua aturan orang tua seperti ini.
“Aku akan mengadukan masalah ini pada ibu.”
“Berani kau melakukan itu?”
“Tentu saja aku berani, bagaimana pun Hiro masih jadi tanggung jawabnya.”
“Huh, kau pikir apa yang bisa diharapkan dari wanita seperti itu? Dia hanya bisa bekerja dan mengesampingkan anak-anaknya da—“
“Kurasa tidak ada bedanya denganmu.” Itu kalimat terakhiku sebelum aku benar-benar meninggalkan ruangan itu.
Sebenarnya aku juga tidak yakin apa ibu akan mendengarkanku atau tidak. Tapi yang jelas, setidaknya aku harus memberitahu ibu soal Hiro yang harus menikahi seorang bocah. Tapi sebelum itu, aku harus menemui bocah yang dimaksud Hiro.
Aku mengeluarkan ponselku, mengetikkan beberapa kata dan aku cukup beruntung karena aku langsung dapat balasan dari anak itu. Hanya saja, aku cukup sial karena ternyata bocah itu tidak tinggal di Kansai, dia tinggal di Tokyo.
Aku menggaruk belakang kepalaku. Jadi, maksudnya aku harus pergi ke Tokyo hanya untuk menemui bocah itu? Konyol.
Tapi aku tetap pergi ke Tokyo, menuju ke alamat yang diberikan oleh bocah itu, hanya saja dia tidak membuatku kesal karena dia mengatakan kalau dia akan menjemputku di bandara.
Karena dia cukup sopan menanggapiku, kupikir tidak ada salahnya kalau aku pergi Tokyo untuk menemuinya. Setidaknya, aku bisa bertanya apa dia benar-benar berpikir hal yang sama dengan perjodohan konyol ini.
Mungkin sekitar dua jam aku tiba di Tokyo menggunakan pesawat, hanya saja, orang yang menjemputku adalah orang itu. Arata Kenichi.
“Menunggu lama?” tanyanya sambil menggoyangkan ponsel, di mana ada namaku di sana.
Melihatnya, aku langsung mengernyitkan dahi. “Kenapa kau yang datang?”
“Ah, Nora menyuruhku menjemput orang dengan nomer ponsel ini, dan saat kucatat di ponselku, ternyata namanya adalah orang yang cukup kukenal. Bagaimana kabarmu?" Tanya pria menyebalkan itu.
Aku memutar bola mataku mendengarnya tapi langsung berubah saat orang itu menyebut sebuah nama. "Jadi, di mana bocah itu?"
Dia menggidikkan bahunya. "Aku tidak tahu punya masalah apa kaundejgan Nora, hanya saja bocah itu menyuruhku untuk menjemputmu di sini."
"Nora?"
"Sudahlah, ayo masuk. Kuantar kau pada bocah itu." Ujarnya membawaku ke parkiran. Setelah itu, dengan mobilnya, aku dibawa ke sebuah kafe.
Di kafe itu terlihat cukup ramai. Hanya saja, pria ini langsung menyuruhku naik ke lantai atas di mana ada sebuah meja kosong di sana. Hanya sebuah.
"Duduklah, akan kupanggil Nora."
Nama itu disebutnya berulang-ulang. Awalnya aku berpikir itu nama seekor kucing tapi, saat Arata turun, seorang pemuda naik. Pemuda yang kutemui di penginapan tempo hari.
"Kau?"
"Selamat sore." Ucapnya sambil membungkuk di hadapanku.
"Jadi kau Noriyuki Oubi?" Tanyaku dan dia mengangguk.
_